Tahun Baru Imlek 2022: Tujuan dan Sejarah Perayaan Tahun Baru Imlek

Perayaan Tahun Baru Imlek atau Imlek akan dilaksanakan pada Selasa, 1 Februari 2022. Perayaan Imlek memiliki sejarah yang panjang, keberadaannya di Indonesia sempat dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Baru pada era Presiden Gus Dur perayaan Imlek digelar bebas. Berikut adalah sedikit cerita tentang Tahun Baru Imlek.

Tujuan Perayaan Imlek dan Makna Imlek

Hendra Kurniawan dalam buku Pieces of the Indonesian Chinese Narrative: The Untold Histories (2020: hlm. 58) sebelum Tahun Baru Imlek dirayakan. Orang Tionghoa akan membersihkan rumah mereka dari sampah dan debu. Tujuannya agar seseorang bersih secara fisik dan mental di Hari Tahun Baru.

Secara historis, Tahun Baru Imlek adalah perayaan datangnya musim semi. Karena sebagian besar penduduk Cina pada waktu itu bergantung pada pertanian. Dengan demikian, para petani merasa hidup kembali setelah mengalami “kematian” di musim dingin yang suram. Petani sekali lagi mempersiapkan lahan, benih dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pertanian untuk kembali bertani.

Oleh karena itu, perayaan Imlek dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur atas kekayaan tahun ini dan semoga tahun depan kemakmuran datang. Situasinya tentu berbeda dengan Indonesia. Hal ini dikarenakan perayaan Imlek pada bulan Januari atau Februari ditandai dengan hujan lebat dan masa pemetikan buah. Hari jadi pada prinsipnya adalah hal yang disyukuri. Maka tak heran jika mitos bahwa hujan deras pada malam menjelang Imlek berarti ada harapan rezeki yang akan terjadi di tahun baru.

Selain itu, Tahun Baru Imlek juga melambangkan keharmonisan dalam tatanan kehidupan di bumi. Untuk itulah, perayaan Imlek menjadi momen syukur dan syukur atas kebaikan alam.

Juga dalam kitab tersebut, tradisi bulan ketiga penanggalan Cina (Sha Gwee), atau Ceng Beng (Qing Ming) atau membersihkan makam. Ceng Beng artinya bersih dan jernih. Ceng artinya bersih, sedangkan Beng artinya jernih. Pada zaman Ceng Beng, masyarakat Tionghoa tidak hanya membersihkan rumah tetapi juga makam-makam kuno. Tujuannya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal. Lima belas hari setelah perayaan Tahun Baru Imlek atau Sincia, diadakan Cap Go Meh sebagai upacara penutupan.

Sejarah Pelarangan Imlek di Indonesia

Beberapa tahun yang lalu, seperti diberitakan dalam buku Chinese New Year and Chinese Culture in Indonesia (2019: hlm. 17) yang disusun oleh Pusat Data dan Analisis Tempo, Kemewahan Imlek sekarang secara umum dianggap tidak mungkin pada masa Orde Baru, tepatnya saat Suharto masih berkuasa.

Karena pada saat itu siapa pun yang mencoba menunjukkan daya tarik artistik yang terkait dengan budaya Tionghoa dapat dituduh melakukan subversi. Tidak hanya di tempat umum, bahkan di lingkungan sendiri, warga keturunan Tionghoa pun kerap menemui kesulitan dalam melaksanakan upacara adat.

Alasannya adalah sebagai berikut: Instruksi Presiden 14/1967, yang juga membatasi kebebasan warga negara asal China. Aktivis Arief Budiman, serta akademisi yang banyak menangani masalah sosial, mengatakan penyelesaian itu didasarkan pada persaingan antara tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI terkait erat dengan Republik Rakyat Cina pada saat itu. Maka atas dasar itu, kata Arief, Soeharto sewenang-wenang menyamakan Komunis dengan China. Padahal, itu soal lain, kata Arief. Masih dicantumkan dalam buku, meski pendidikan presiden masih memperbolehkan hari besar keagamaan dan adat asalkan menonjol dan berlangsung di dalam ruangan, namun dalam praktiknya, pejabat dinas sosial seringkali memiliki penafsiran sendiri-sendiri.

Berdasarkan pengalaman sutradara teater N. Riantiarno dalam pertunjukan Sampek Engtay tahun 1988 di Jakarta. Saat hendak tampil, ia nyaris dilarang masuk badan intelijen. Menurut Riantiarno, dia ingin menampilkan drama romantis, bukan cerita politik.

Izin akhirnya diberikan, tetapi ada syarat yang tidak diperbolehkan, yaitu tidak boleh menggunakan huruf Cina, tidak boleh menggunakan dupa, dan akhirnya liong(naga) hanya boleh ditempatkan di dalam gedung. Dia masih jauh lebih beruntung dari apa yang terjadi di Medan. Polisi melarang pertunjukan itu karena belum mendapat izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

Bahkan, sepuluh instansi lain telah diberi wewenang. Bahkan, Kementerian Penerangan saat itu melarang penayangan orang-orang yang sedang berdoa di kuil, barongsai, atau penggunaan bahasa Mandarin di layar berbahasa Mandarin. Menurut Ishadi SK, mantan Dirjen RTF (Radio, Televisi dan Film), pemikiran dogmatis sepihak berkembang saat ini.

“Pelarangan itu dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Cina di sini melupakan budaya mereka agar mereka mudah masuk dan beradaptasi dengan budaya kita,” kata Ishadi.

Namun, Presiden Abdurrahman Wahid atau Presiden Gus Dur mencabut Inpres 14/1967 yang membatasi perkembangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Kemudian dikeluarkan DPR n. 6 Tahun 2000. Peraturan ini menjadi titik terang bagi warga negara Tionghoa yang selama ini sering mengalami perilaku rasis, diskriminatif, dan anti Tionghoa. Bahkan melalui kappres 19/2002, Tahun Baru Imlek telah ditetapkan sebagai hari libur nasional.