Memperingati Hari Kartini, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

liputanberitaku.com– Memperingati Hari Kartini, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual- Tanggal 21 April merupakan hari lahir pahlawan pembebasan wanita Indonesia, yaitR.A. Karu tini. Kartini adalah pahlawan Indonesia yang perduli dengan nasib wanita. Karena itu tiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.

Kartini benar-benar keras mengumandangkan kesetaraan antara wanita. Kartini perjuangkan gagasannya dalam tulisan. Gagasannya kekal dan masih berkaitan sampai sekarang ini.

Wanita zaman Kartini tidak dipandang sekitar pria. Tidak ada kesamaan hak di antara wanita dan lelaki. Wanita ketinggalan jauh ada di belakang pria dalam segalanya.

Wanita disepelekan dalam soal pengajaran, sosial bahkan juga politik. Stigma jika wanita cuman berada di dapur dan ibu rumah-tangga demikian mendarah daging, dan itu budaya waktu itu.

Selainnya mengumandangkan kesamaan, ada budaya lama yang perlu ditantang yakni budaya patriarki. Jaman sudah berbeda, perjuangan Kartini bersambung dengan angkatan Kartini sekarang ini.

Memperingati Hari Kartini, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Baca juga : Mengenal Lebih Dekat R.A Kartini

 

Kemungkinan dalam banyak hal kesetaraan sudah terwujud. Misalkan untuk sektor pengajaran, politik, bahkan juga pemerintah. Banyak Kartini yang menekuni di bidang ini.

Tetapi, wanita masih tetap jadi object pemuas pria maksiat. Di bidang ini, wanita sering alami sikap tidak adil.

Dalam kasus kekerasan seksual, wanita sering dipandang seperti akar pemicu kejahatan itu. Wanita hadapi beragam argumen. Misalkan karena bajunya terbuka, hingga menghidupkan keinginan maskulin.

Ini tidak dapat menjadi argumen. Faktanya ialah jika orang yang keliatannya tertutup juga terima tindakan semacam itu. Disamping itu, undang-undang itu tidak memerhatikan kebutuhan korban, terutamanya wanita.

Keinginan berkilau. Ada RUU yang memihak pada wanita, yaitu RUU Penghilangan Kekerasan Seksual (PKS).

Tetapi dinamika politik di Senayan berlainan, dengan UU 2020 ditarik dari Program Legislatif Nasional. Keinginan baru sudah ada, dengan RUU PKS saat ini antara beberapa simpatisan fokus 2021.

Urgensi UU PKS untuk Wanita

Berdasar catatan tahunan Komnas Wanita 5 Maret 2021 (catahu), jumlah kekerasan pada wanita di tahun 2020 ialah 299.911.

Pengadilan negeri dan pengadilan agama tangani keseluruhan 291.677 kasus. Instansi partner Komnas Wanita tangani 8234 kasus dan 2389 kasus diatasi oleh unit referensi dan service Komnas Wanita.

Dari beberapa kasus yang diatasi oleh unit referensi dan service Komnas Wanita, 2124 kasus berbasiskan gender dan 225 salah satunya tidak berbasiskan gender atau memberinya info.

Kasus yang paling mencolok ialah bidang individu atau swasta, yang disebutkan DRC. Kekerasan pada istri tempati posisi pertama, dengan 50 %.

Di urutan ke-2, kekerasan dalam kekasihan turun sejumlah 20% dan kekerasan pada anak wanita sejumlah 15%, dan bekasnya oleh kekerasan oleh bekas rekan atau bekas suami.

Kasus yang paling mencolok dalam masyarakat ialah kekerasan seksual pada wanita, yang mencakup pemerkosaan, penghinaan seksual, penghinaan seksual, hubungan seks, dan eksperimen kekerasan.

Angka ini memperlihatkan jika wanita bahkan juga tidak aman di lingkungan paling dekat mereka. Dalam beberapa kasus, kekerasan seksual dilaksanakan oleh orang paling dekat.

Gambar di atas memperlihatkan pentingnya membuat perlindungan wanita, terutamanya di bagian hukum.

Sepanjang kekerasan seksual, wanita nampaknya mengakibatkan perlakuan tidak manusiawi itu.

Paling akhir, kekerasan seksual ialah salah satu kejahatan yang dipersalahkan oleh korban. Korban jadi kambing hitam karena beragam argumen berlangsungnya perlakuan itu.

Belum juga pengakuan umum, “bila tidak ingin, Anda dapat menantang, bila Anda cuman dengarkan, itu memiliki arti Anda layani.” Kalimat ini terang tidak benar, benar-benar tidak dapat ditolerir. Bukan lantaran mereka tidak mau kuranginya, tapi secara psikis, korban kekerasan seksual itu mati rasa, jadi mereka dengarkan.

RUU PKS mengelompokkan kekerasan seksual ke sembilan kelompok. Ini terhitung penghinaan seksual, eksplorasi seksual, kontrasepsi paksakan, aborsi, pemerkosaan, kawin paksakan, prostitusi paksakan, perbudakan seksual dan penganiayaan seksual.

 

Baca juga : Mengenal Lebih Dekat R.A Kartini

 

RUU itu mengelompokkan kekerasan seksual jadi perlakuan fisik dan non-fisik (verbal) yang berkaitan dengan anggota badan seorang yang berkaitan dengan keinginan seksual yang menyebabkan seseorang berasa terancam, terhina, atau terhina.

Point paling penting untuk saya ialah wujud non fisik alias verbal. Warga harus terima pengajaran berkaitan. Penghinaan verbal ialah hal umum dalam masyarakat kita.

Contoh sekecil apa saja ialah siulan dan tatapan mata genit

Contoh paling kecil ialah semprit genit yang kelihatan penuh keinginan pada orang wanita. Sebagian besar warga kita yang memandang perlakuan ini dilaksanakan tiap hari.

Bahkan juga cukup banyak wanita yang berasa risi, terancam, terhina dan terhina. Seakan-akan wanita hanya object kepuasan seksual pria.

Hal remeh semacam itu sudah seharusnya berbuat tidak etis kehormatan wanita. Tetapi penghinaan cuman dapat dipandang terjadi bila berbentuk fisik atau disebutkan tindakan, itu terjadi sekarang ini.

Minimnya pengajaran khalayak, itu penyebabnya pemahaman ini bertahan sampai ini hari. Banyak orang yakin jika penghinaan terjadi bila terjadi berbentuk fisik atau sebagai perlakuan.

Pelindungan korban

Sama seperti yang sudah disebut awalnya, dalam kasus kekerasan seksual, wanita ditahan karena beragam argumen sebagai pemicu khusus berlangsungnya tindak pidana itu. Walau sebenarnya, wanita ialah korban yang perlu diproteksi.

Dianggap atau mungkin tidak, KUHAP yang dipakai saat ini lebih banyak bicara mengenai hak-hak terdakwa yang tidak mengikutsertakan korban sama sekalipun. Hak beberapa korban tidak disebut sama sekalipun. Sejauh ini kami cuman merujuk pada UU 13 Tahun 2006 mengenai Pelindungan Saksi dan Korban.

RUU PKS bukan hanya membuat perlindungan korban tapi juga keluarga dan saksi korban. Hak korban mencakup hak atas penyembuhan, pelindungan dan rekondisi.

Rekondisi korban kekerasan seksual penting, dan beban psikis beberapa korban terang benar-benar berat. Apa lagi saat kita kembali lagi ke peradaban sosial.

Oleh karenanya, arah pengobatan untuk tingkatkan rasa optimis dan hilangkan trauma yang sering mengikuti korban.

Baca juga : Mengenal Lebih Dekat R.A Kartini